Opini

Kampung-Kampung Tematik DAS Brantas; Etalase Pembangunan atau Fenomena Sesaat?

Oleh : A.S. ARIFIN *)

Salah satu mainset pembangunan kampung-kampung tematik di sekitar wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah paradigma baru Pemkot Malang (sebagaimana pernah diungkap Walikota Malang, H. Moh. Anton) yang ingin menjadikan pemukiman di zona rawan tersebut sebagai salah satu etalase pembangunan Kota Malang.

Kampung Wisata Jodipan (KWJ), Kampung Tridi di Purwantoro, maupun Kampung Putih di Kelurahan Klojen, kini bisa dikatakan telah bertransformasi sebagai etalase dimaksud. Berbasis ide dan aspirasi masyarakat setempat, “Etalase-etalase Pembangunan” baru terus dikatalisasi dan diwujudkan oleh Pemkot Malang. Terkini adalah Kampung Biru Arema di Kelurahan Kidul Dalem yang sedang dalam proses perwajahan. Dan, semua kampung tematik tersebut memang berada di teras (DAS) Sungai Brantas.

Sebagai sebuah etalase pembangunan kota, transformasi situs-situs tersebut tak hanya merujuk pada aspek perubahan fisik dan ekologi, yang berorientasi sebagai destinasi wisata alternatif. Namun yang paling substansional adalah performa nyata dalam hal peningkatan keberdayaan dan kesadaran masyarakat setempat. Tanpa perlu teori-teori ilmiah, hal tersebut dapat diukur secara kasat mata dengan berkunjung dan menyaksikan locus dan kehidupan masyarakat disana.

Faktanya, destinasi-destinasi berbasis bottum up tersebut memang tak hanya menjadi magnet baru atau jujugan wisata berbagai kalangan. Lebih dari itu, upaya transformasi benar-benar juga telah menyentuh perubahan (atau penyesuaian) pada aspek kultur sosial dan perilaku kehidupan masyarakat setempat. Dari pola laku umum warga pemukiman pinggir sungai yang cenderung lekat dengan kekumuhan, menjadi pola laku warga yang lebih beradab terhadap lingkungan. Setidaknya mereka mulai menjadikan sungai setempat sebagai sahabat, bukan lagi sekedar wadah buang hajat.

Juga, karakter kelam wilayah pinggir kali yang termarjinalkan dengan wajah-wajah penghuninya yang kadang sangar, telah berubah wujud menjadi basis-basis wisata murah, penuh senyuman ramah dan mengedepankan citra yang lebih humanis.

Padahal, bila dirunut ke masa-masa sebelumnya, Kampung Ledok (Kampung Tridi), Arek Jodipan (KWJ) ataupun Arek Celaket (Kampung Putih) juga tak luput dengan masalah-masalah sosial yang mewarnai pada masa itu. Semisal tawuran, dunia preman, gank-gank-an maupun mabuk-mabukan.

Sebagai bagian dari pemukiman-pemukiman pinggir sungai pada umumnya, lingkungan yang cenderung kumuh dan menjadikan sungai Brantas sebagai TPA sekaligus MCK adalah hal yang lumrah saja kala itu.

Dus, kehadiran pembangunan berbasis inisiasi masyarakat melalui kelahiran kampung-kampung tematik itulah yang kemudian meredam jejak-jejak kelam tersebut. Kini nyaris tak ada lagi kekumuhan atau sampah yang teronggok di sembarang tempat. Pemandangan itu berganti menjadi sudut-sudut kampung dengan warna-warni indah dan elok dipandang.

Apalagi setelah kampung-kampung tematik tersebut telah menjadi detinasi wisata alternatif yang recommended dan viral. Tak perlu turun dan menelisik ke dalam untuk membuktikannya. Tengok saja suasana Kampung Tridi maupun KWJ dari atas Jembatan Brantas (Bug Gludug) di akhir pekan. Padatnya parkir roda dua plus hilir mudik manusia menjadi narasi nyata bagaimana fenomena tersebut sedang berlangsung.

Kesadaran masyarakat lokal kini mulai dan tengah terbentuk. Sosio kultur baru yang positif tengah mewarnai aktivitas sehari-hari warga di kampung-kampung itu. Setidaknya kini mereka lebih ramah dan respek dengan sesama, lebih guyup dalam berinteraksi, lebih peduli terhadap alam dan lingkungan, juga lebih terbuka terhadap kreativitas dan hal-hal baru.

Dan yang terpenting, ekonomi lokal benar-benar telah menggeliat dan bergerak. Perputaran uang semakin massif di akhir pekan. Mulai dari jasa parkir, toko-toko dadakan, penjual makanan dan kuliner, hingga pembuatan souvenir maupun oleh-oleh khas yang didagangkan. Semua berkelindan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Tak dipungkiri memang, masih banyak persoalan yang menjadi pekerjaan rumah dan perlu benar-benar dipikirkan. Seperti, bagaimana menyertakan warga disana yang masih pasif dan tertinggal sehingga belum sepenuhnya dapat turut menikmati perubahan positif yang tengah berlangsung.

Atau, bagaimana terus menyolidkan masyarakat agar berbagai perubahan sosio kultural dan grafik ekonomi yang positif tersebut tetap konsisten dan berkelanjutan. Termasuk bagaimana pendampingan-pendampingan perlu terus dilakukan agar inovasi-inovasi baru masyarakat dapat terus berkembang.

Itulah masalah-masalah mendesak dan nyata yang perlu segera digagas solusinya. Jika hal-hal tersebut telah dirumuskan – dengan tetap mengakomodir karakteristik dan kearifan lokal masyarakat setempat- niscaya aneka perubahan positif tersebut akan terus berlanjut. Dan, kampung-kampung tematik pinggir kali itu benar-benar akan menjadi etalase pembangunan Kota Malang yang membanggakan.

Sebaliknya, jika tidak ada perubahan, bisa saja semua itu hanya akan menjadi fenomena sesaat belaka. Karena, kering inovasi dan miskin pembaharuan. Selanjutnya bisa ditebak, etalase akan terasa menjemukan dan kemudian terlupakan.

Semoga saja etalase-etalase itu dipersiapkan untuk terus bergerak dan menyajikan hal-hal baru!.

*) Staf Kelurahan di Kec. Klojen Kota Malang