Seiring dinamika perkembangan kota, pesatnya pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan, swalayan, minimarket maupun pasar modern lainnya, ditengarai menjadi penyebab “mati suri”nya beberapa pasar tradisional yang ada. Kini memasuki era ekonomi baru berbasis ekonomi kreatif, beberapa pasar tradisional yang memiliki kekhasan, ternyata mampu tetap bertahan dan bahkan menjadi icon lokal yang cukup unik dan melegenda. Sehingga selain sebagai pusat niaga, tempat-tempat tersebut juga menjadi destinasi rekreatif yang mengasyikkan bagi beberapa kalangan.
Jika anda jenuh dengan tempat-tempat rekreasi konvensional atau anggaran terbatas untuk mengunjungi destinasi- destinasi mahal, nggak ada salahnya pasar-pasar unik berikut menjadi jujugan anda merefresh memori di akhir pekan. Selamat berselancar …
-
Pasar Batu Mulia Majapahit
Tak jelas sejak kapan sentral penjualan tradisional batu mulia itu bermula. Setidaknya menurut catatan, sejak 1980-an pusat “bisnis batu” itu telah cukup diperhitungkan. Sempat berpindah-pindah tempat mangkal. Pernah di depan Toko Oen dan Hotel Rice, kini jujugan para penggila batu itu “menetap” di emperan ruko Majapahit. Tempat yang juga belum pasti karena bukan milik mereka sendiri. Namun begitu menyusuri jajaran batu-batu mulia yang khas dan menakjubkan di emperan ruko Jl. Majapahit akan tetap menjadi rekreasi unik dan mengasikkan. Khususnya bagi para penggila batu mulia yang hingga kinipun tak pernah surut.
2. Pasar Burung Splindid & Pasar Bunga Brawijaya
Pasar tradisional yang resminya bernama Pasar Burung dan Ikan Hias ini tak kalah unik. Menempati ujung ruas Jalan Brawijaya yang agak curam, pasar yang bersinggungan dengan sungai Brantas ini sejatinya tak hanya memperjual- belikankan bermacam unggas dan ikan hias saja, melainkan juga aneka satwa rumahan lain seperti: anjing, kucing, ayam hutan, kelinci, kera, kura-kura, hamster, iguana, dan beberapa hewan jinak lainnya. Bahkan, di era tahun 1980-an konon di tempat ini juga sempat memperdagangkan hewan-hewan langka, sejenis merak, macan kumbang, lutung, dan beberapa jenis satwa lainnya. Namun kini tak pernah lagi ditemui perdagangan hewan-hewan yang dilindungi tersebut.Untuk kebutuhan dan perlengkapan memanjakan hewan kesayangan? jangan kuatir! di sini lengkap tersedia. Mulai dari kebutuhan pokok semacam kandang dan asupan aneka jenis hewan piaraan, hingga pernak-pernik asesoris permainan bahkan alat melatih hewan. Pokoknya, para pecinta binatang yang berkunjung ke tempat ini pasti tahan untuk berlama-lama. Baik untuk berbelanja kebutuhan hewan pemuas hobi, sekedar jalan-jalan melihat keunikan berbagai satwa, atau bertukar informasi terkait binatang kesayangan, semuanya memang bisa dilakukan di sini.
Embrio pasar satwa yang berada di pusat kota ini terbentuk sekitar tahun 1960-an. Konon bermula dari tongkrongan beberapa pecinta burung yang kala itu berkumpul di sekitar jalan Brawijaya. Awalnya mereka saling barter dan jual beli hewan vertebrata dari kelas aves itu. Hingga kemudian berkembang menjadi sebuah pusat ekonomi baru yang cukup ramai, karena pengunjungnya juga datang dari berbagai daerah. Pada tahun 1967 Pemkot Malang sempat merelokasi pusat perdagangan hewan di belakang markas militer tersebut ke Pasar Comboran, karena dianggap menjadi biang macet dan kekumuhan. Namun pada tahun 1993 Pemkot Malang kembali memindahkan tempat itu ke lokasi asalnya, hingga kemudian berkembang menjadi sentra perdagangan binatang piaraan yang cukup diperhitungkan. Dan, pada 1995 tempat tersebut resmi dinamakan Pasar Burung dan Ikan Hias di bawah binaan Dinas Pasar Kota Malang hingga kini. Meski masyarakat umum lebih suka menyebutnya Pasar Burung Splindid, karena lokasinya di belakang Hotel Splindid Inn.
3. Pasar Buku Wilis
Pasar unik yang satu ini juga tak kalah melegenda. Bagaimana tidak, pasar yang awalnya bertempat di seberang PKL Batu Akik Majapahit ini, juga kondang menjadi jujugan para pemburu buku-buku bekas atau pustaka lawas di Kota Malang. Saat itu masih menempati sempadan jalan di ruas tanjakan Jl. Majapahit. Kala itu destinasi ini populer dengan sebutan Blok M, dimana berjajar puluhan bedak semi permanen yang menjual ribuan buku-buku atau majalah bekas. Dari yang berbahasa asing hingga berbahasa Indonesia dengan ejaan lama atau bahkan berbahasa Melayu tempoe doeloe.Ketika itu setiap hari ratusan pelajar, mahasiswa atau masyarakat umum yang berburu buku-buku bekas atau majalah lawas menyusuri bedak-bedak tersebut. Harga buku-buku loakan yang lebih murah atau buku yang diingini tak terbit lagi, menjadi alasan mereka menyesaki tempat itu. Tak pelak di jam-jam tertentu jalan raya tanjakan di pertigaan itu seringkali macet bahkan membuat penggunanya celaka. Hingga Pemkot Malang yang saat itu dipimpin H. Suyitno, kemudian merelokasi bedak-bedak tersebut ke sentralisasi baru di Jalan Simpang Wilis. Di tempat ini telah disiapkan sebuah bangunan pasar dengan bedak-bedak permanen yang lebih bersih serta tertata rapi, dan diresmikan oleh sang Walikota itu pada 12 Juni 2013.
4. Pasar Loak Comboran
Pasar unik berikutnya adalah Pasar Comboran. Meski keramaiannya jauh menurun dibandingkan 10 atau 20 tahun lalu, pasar loak yang terletak di sebelah selatan Pasar Besar ini tetap terasa unik. Tahun 1980 – 1990 an mungkin adalah tahun-tahun emas Pasar Comboran. Kala itu, pasar barang bekas ini cukup kondang hingga pengunjungnya datang dari berbagai kota. Apalagi di akhir pekan atau saat hari libur; ruas jalan Tanimbar, Halmahera dan Irian Jaya yang menjadi urat nadi Comboran selalu ramai dengan hiruk pikuk khas pasar rakyat.Tidak saja teriakan dari para pedagang onderdil loakan, tetapi juga dari lapak-lapak penjual barang-barang “tak umum” lainnya. Memang, barang dagangan “tak umum” itulah salah satu pemikat para pengunjung di sana. Mulai patung-patung antik, benda-benda unik dan langka hingga lukisan kuno. Dari perangko bekas hingga koin dan uang lawas, atau ada juga pedagang keris, pusaka bertuah dan jimat-jimat berbau klenik, semuanya ada di sana. Bahkan, aneka pengobatan alternatif yang tak kalah ekstrim; obat koreng dari minyak kobra, obat kuat dari tangkur buaya, hingga pembasmi kutu dari bisa kalajengking. Plus; aneka tingkah pola para penjualnya yang menarik dan kadang menggelikan, juga ada di sana. Tak ketinggalan para peramal judi buntut dan pesulap jalanan ikut meramaikan suasana. Ketika itu “wahana” pasar comboran benar-benar komplit sebagai ajang “rekreasi” rakyat marjinal.
Kini, segala keseruan itu nyaris hilang entah kemana. Namun sebagai sebuah pasar loak besar, Comboran tetaplah khas dengan segala keunikannya. Bedak-bedak onderdil jalan Tanimbar tetap menjadi jujugan utama para pencari sparepart motor atau mesin bedengan. Kawasan jalan Irian Jaya tetap semarak dengan lapak-lapak aneka peralatan serba ada, baik yang “gres” pabrikan maupun yang seken dan loakan. Dari peralatan tukang, pertanian hingga tool teknik dan listrik. Perlengkapan sanitair hingga asesories hape, tabung elpiji hingga kompor gas. Juga baju-baju bekas hingga sandal kesehatan, lengkap tersedia dengan harga yang ramah.
Paling unik adalah loakan yang menempati Jl. Halmahera. Di kawasan jalur lintasan kereta api pertamina itu banyak ditemuai PKL barang bekas yang mangkal di sana. Mulai barang-barang elektronik, aksesoris mobil atau motor, helm seken, buku-buku dan kaset-kaset lawas, pakaian bekas, perlengkapan olahraga, perlengkapan dapur, mainan anak – anak hingga peralatan kantoranpun ada di sini. Sebagian dari mereka menggelar dagangannya berjajar di kiri atau kanan rel kereta api dengan sebuah alas yang ternyata sangat “tepat guna”.
Keunikan baru terasa ketika kereta pengangkut minyak tiba-tiba melintas di sana. Suara samar-samar yang disertai getaran khas kereta api, sekonyong-konyong berubah menjadi peringatan lisan yang bersahutan. Dan, membuat kerumunan pembeli dan pedagang yang sedang asyik bertransaksi itu sejenak bubar. Para pembeli segera membalikkan badan beberapa langkah untuk menghindar, sementara sang penjual bergerak cepat menyelamatkan barang dengan menarik ujung-ujung alas dagangannya. Suara dan tangki gerbong yang serasa di depan hidung tak menyurutkan niat mereka. Begitu sang kereta telah lewat, dalam sekejap mereka sudah balik seperti semula. Beraktivitas kembali seperti sediakala seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Pengunjung yang pernah mengalami atau melihat situasi seru pemicu andrenalin tersebut pasti tersenyum simpul dan selalu kangen untuk menikmatinya lagi.
5. Pasar Besi Farokah
Dari simpang tiga Jl. Irian Jaya di bagian timur Pasar Comboran, kita akan menemui Jl. Peltu Sujono yang membujur ke selatan. Di ujung jalan itu terdapat pasar unik berikutnya. Masyarakat biasanya menyebut pasar yang berada di tikungan itu dengan Pasar Besi Farokah, karena memang letaknya sangat dekat dengan kawasan pabrik rokok yang terkenal di era 80-an itu. Menempati areal seluas kurang lebih 0,5 ha, ditempat ini setidaknya terdapat 50 lebih pedagang. Menurut salah seorang pedagang sebut saja namanya Pak Hasan (53 th), pasar ini sempat mencapai jaman keemasanya pada era 1980 sampai awal 1990-an. Saat itu, menurut warga asli ngalam ini untuk mendapatkan penghasilan 50 ribu tak sampai setengah hari. Mungkin nilai 50 ribu rupiah saat itu setara dengan 500 ribu saat ini. Sayangnya ketika ditanya lebih lanjut terkait asal-muasal pasar khas ini, lelaki asal Gadang yang mengaku berdagang di tempat itu sejak 1993 tersebut mengaku kurang begitu paham. Termasuk prospeknya kedepan setelah melewati masa-masa keemasannya.