Mendekati penghujung bulan Ramadhan atau menjelang hari raya Idul Fitri, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya pengunjung mall dan supermarket dipastikan selalu membludak. Pemandangan itu sangat kasat mata. Tak perlu masuk kedalam untuk membuktikannya, tengok saja berjejalnya kendaraan di lahan parkir. Bahkan di beberapa tempat hingga meluber ke trotoar atau bahu jalan. Belum lagi pedagang kaki lima yang turut memanfaatkan kesempatan dan merampok hak pengguna trotoar. Dus, kemacetan dan hilangnya kenyamanan selalu mewarnai pernak-pernik menjelang lebaran setiap tahun.
Muslim Indonesia memang paling antusias dalam menyambut gembita Idul Fitri, dan pasar ritel (tradisional maupun modern) memang cakap mengkapitalisasi fenomena sosial tersebut. Bagi kebanyakan muslim Indonesia hari raya tetaplah hari raya, tak peduli isu pertumbuhan ekonomi sedang stagnan ataupun ekonomi global lagi lesu darah. Baju baru tetap harus ada, setidaknya untuk anak-anak atau keponakan tercinta. Makanan dan kue-kue juga mesti tersaji di meja. Juga oleh-oleh untuk sanak-famili di kampung halaman juga harus ikut serta saat mudik tiba. Ibarat langit runtuh sekalipun Idul Fitri tetap harus disambut sukacita dengan tradisi kemeriahan sebagaimana jamaknya.
Maka secara periodik, mall-mall itupun mengemas berbagai program pemasaran untuk berebut pengunjung dan mendulang untung di musim panen raya mereka ini. Mulai dari diskon dan banting harga, hingga pemberian kupon hadiah maupun souvenir tambahan. Dan, seolah simbiosis mutualis, konsumenpun memang makin tergoda untuk berbelanja. Mereka rela menyesaki mall-mall itu, berburu busana baru untuk hari raya. Beberapa fashion store bahkan harus menambah jam operasionalnya untuk “memuaskan” gairah belanja konsumennya. Membuka gerainya lebih awal dan menutupnya makin larut malam.
Dampak lain yang juga dapat dipastikan adalah; makin lengangnya masjid dan langgar, shof sholat Taraweh juga semakin bergerak “maju”, dan sound Taddarus-pun makin awal dimatikan. Tentu saja karena sebagian jamaahnya sibuk berbelanja atau kelelahan akibat shoping seharian. Keriuhan ibadah di masjid dan langgar pada awal Ramadhan, bergeser ke swalayan dan mall di akhir bulan mulia itu.
Padahal, keistimewaan bulan-bulan Hijriyah ada pada Ramadhan, dan keistimewaan Ramadhan ada pada 10 hari terakhirnya. Sebagaimana Allah SWT. berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan dimana diturunkan Al quran di dalamnya sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil.” Firman Allah SWT lainnya berbunyi: “Sesungguhnya Kami telah turunkan Alquran pada malam qadar”. Menurut jumhur ulama dan nyaris tanpa perselisihan Lailatul Qadar diturunkan pada salah satu malam di antara 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Suatu malam penuh rahmat dimana siapapun yang beribadah didalamnya lebih mulia dari 1000 malam.
Namun, manakala di 10 hari terakhir malam Ramadhan ini ternyata mall lebih semarak dari pada gebyar ibadah di masjid dan langgar, adakah yang salah? siapakah yang perlu dipersalahkan dengan gejala sosial muslim kebanyakan ini?.
Pertanyaan-pertanyaan yang agaknya lebih bermakna jika dikontemplasikan, atau setidaknya tak harus perlu segera dijawab. Karena memang tak perlu ada yang dipersalahkan. Tak perlu menuding atau mencari kambing hitam. Tulisan ini juga tak bermaksud seperti itu. Ia tak lebih dari sekedar percikan kegelisahan atas fenomena sosial praktek ber-agama sebagian kalangan yang masif dari generasi ke generasi. Dimana memenuhi persiapan lebaran di mall dipersepsikan lebih utama dari ritual ibadah di 10 akhir malam Ramadhan.
Indonesia adalah Indonesia, negeri yang sempurna dengan segala keunikannya, pun dalam urusan praktek ber-agama Islam. Konon jaman dulu, para Alim Nusantara dan wali penyebar agama Islam begitu bijak-cendekia dalam berjuang menyebarkan ajaran dan nilai-nilai ke-Islam diantara kokohnya teologi musrikisme yang telah mengakar dan mengurat nadi. Dengan pendekatan bijak penuh toleran dan kasih sayang, kultur kemusrikan itu tak serta merta dilarang. Namun ia dibalut akidah Islami dan ketauhidan. Akulturasi budaya dan ritual ke-agama-an itu kemudian menyatu padu secara harmoni hingga meng-Islamkan (mentauhidkan) “kemusrikan”.
Tradisi nyekar (praktek beragama kirim doa plus praktek budaya menabur kembang ke pemakaman), selamatan lebaran ketupat, termasuk kesibukan mudik dan antusiasme menyambut lebaran adalah jejak-jejak kepiawaian para wali mengharmonisasi praktek-praktek budaya menjadi berbasis ketauhidan. Praktek-praktek budaya -agama itu kemudian menjadi khas Indonesia dan tak akan kita temui di Negara Islam sekalipun. Itulah bagian dari kekayaan budaya dan praktek religius negeri kita yang mampu berakulturasi secara harmoni.
Kultur – religius bulan Ramadhan justru membuat penganutnya, bahkan semua orang lebih bergairah menatap hari-hari berikutnya (hari Idul Fitri), apapun dan bagaimanapun strata sosial-ekonominya. Budaya – beragama menyambut Idul Fitri kini juga terbukti mampu memantik roda ekonomi semakin bergeliat dan perputaran uang semakin lincah. Praktek-praktek beragama dan tradisi Ramadhan juga membuat ikatan sosial penganutnya (ukhuwah islamiyah) semakin kental, bahkan dengan penganut agama lain sebangsa melalui prinsip ukhuwah wathaniyah.
Inilah wajah Islam Indonesia, perwujudan Islam rahmatan lil A’lamin yang merupakan hasil akulturasi tradisi lokal ke-Indonesia-an yang adi luhung tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Tauhid dan Aqidah Islamiyah. Harmonisasi itu berhasil menstimulan kesalehan vertikal (hubungan penghambaan pada Alloh SWT./ hablumminalloh) untuk bermuara pada kesalehan horizontal (hubungan sosial dan penebar kasih sayang antar insan/ hablumminannass), ataupun sebaliknya.
Gegap gembita tradisi plus religiusitas menyambut Idul Fitri (termasuk budaya urban sebagai akulturasi lanjutan) adalah rangkaian manik-manik kekayaan negeri ini yang harus terpelihara. Artinya tradisi dan praktek keber-agamaan Idul Fitri khas muslim Indonesia yang fenomenal dan penuh euforia memang harus digegap gembitakan, namun tetap secara proporsional dan rasional. Gelora menyambut lebaran Idul Fitri tersebut haruslah linear dengan semangat peningkatan spritual keber-agama-an di akhir bulan Ramadhan ini. Pendek kata, keriuhan ibadah di masjid dan langgar pada malam-malam Ramadhan tetaplah harus terjaga, pun hiruk pikuk berburu persiapan lebaran di swalayan dan mall juga tetap ramai di siang hari.
Saat Ramadhan di siang hari mall dan pasar-pasar memang harus tetap ramai karena itulah penggerak ekonomi negeri ini. Namun saat senja datang semestinya segenap muslim tetap berkumpul dalam kehangatan suasana berbuka puasa bersama keluarga di rumah. Bercengkeramah sembari menunggu saat-saat sholat teraweh dan taddarusan di masjid dan mushollah. Dan tentu, khusu’ penuh harap menjemput Lailatul Qodar yang penuh berkah. Barokalloh!. Waallohu’allam.